Selasa, 23 Juli 2013

Jembatan Zaman

"Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya."

Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun, masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari Surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik.

Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini, burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun, jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.

Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tidak bisa kembali ke kacamata yang sama, bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.

Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil, atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecapatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas, tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.

Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.

Minggu, 07 Juli 2013

Tawai Diri Sendiri

Hari itu malam minggu biasa, dua orang pria duduk dekat jendela kaca pemisah antara dunia luar keramaian dengan sebuah kedai kopi terkemuka. Mereka sering melakukannya, dulu.

Salah satu membeli makanan untuk camilan sembari berbincang. Hari itu banyak sekali naskah dalam otak kami yang lebih dikenal dengan keluhan hahaha. Masalah kami sebelas dua belas yaitu perempuan. Perempuan yang buat kami sibuk dan melupakan rutinitas ini.

Hari itu mungkin akan panjang sekali. Dibuka dengan pertanyaanku mengenai keadaan temanku yang krisis dalam berhubungan dengan wanita. Intinya sama, kami dalam masa transisi di mana harus berpisah dalam jarak karena pendidikan. Waktu ini terus berdetik dan mencari waktu untuk bertemu itu sesuatu yang pelik.

Kami seakan tertawa pada nasib satu sama lain. Sesaat kami tertawa seperti menertawakan diri kami sendiri. Sungguh lucu malam itu. Dua orang bersahabat berjuang terus untuk wanita yang bisa dibilang affordnya lebih ke pria entah dari perhatian, mengalah, dan usaha. Dan kesimpulan malam itu satu, Sesempurna apapun laki-laki kelemahannya adalah wanita. Sedih kawan.

Sabtu, 06 Juli 2013

Air

Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kulihat kamu butuh penghiburan, nasihat bijak, atau humor segar agar kesedihan ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuanku melucu lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan. Aku ingin bilang berbarengan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang kurasakan, dan aku tak mengerti mengapa bisa demikian.

Namun, kurasa hatimu tahu, seperti hatikupun tahu. Jika malam ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutan akan sepi. Maka dari itu maaf, bila malam ini ku berbohong, cinta.

Berbicara cinta, aku tidak tahu cinta punya beraba macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hati masing-masing. Bila hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun, kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur ini? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.

Jadi, aku tidak tahu cinta itu sendiri dari berapa macam. Yang kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang kamu lebih daripada siapa pun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun, aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku butuh hujan itu. Lebih daripada apa pun. Dan sembari dipeluk pastinya sehingga muncul keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati. Dan itu jugalah keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.

Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi

dan tak kembali.

Jumat, 05 Juli 2013

Kata

Pesan ini akan tiba kepadamu, entah dengan cara apa. Bahasa yang kutahu kini adalah perasaan. Mungkin aku memandangimu tanpa perlu menatap. Aku mendengarmu tanpa perlu alat. Aku menemuimu tanpa perlu hadir.

Bahasaku yang cuma rasa susah melekat pada kata. Ya lebih indah dilukiskan tampaknya. Tapi aku tau apa yang kau tanya, dan aku tau apa jawabannya. Tinggal cara yang masih menjaga rahasia.

Kau tau kata ragu? Aku pernah menyimak perkataan film terkenal, kala itu adegannya sangat menegangkan tapi bukan horor, kawan. Begini potongan percakapan mereka;

Remi : “Kalau nggak begini, saya akan selalu meminta kamu untuk mencintai saya, Gy. Semua yang kamu lakukan adalah karena saya meminta. Carilah orang yang gak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segala-galanya.”

Bahu Kugy berguncang tanpa bisa lagi ia tahan.

Kugy : “Tapi … orang itu kan kamu … aku … aku nggak pernah minta apa-apa … tapi … tapi, kamu kasih semuanya …”

Kugy berkata terengah, di sela isakan dan desakan yang begitu kuat menyesak di dadanya.

Remi : “Iya, Gy.”

Remi mengangguk sambil mengusap air mata di pipi Kugy.

Remi : “Kamu mungkin sudah ketemu. Saya yang belum.”

Suara Remi mulai bergetar.

Remi : “Saya yang belum …”

Ucapnya lagi, separuh berbisik. Seolah ia sedang memberi tahu dirinya sendiri.

Remi lalu bangkit, sejenak mendekap Kugy yang masih terisak, dan ia melangkah pergi......